Maaf Untuk Kata Sebuah Cerpen Karya Dhafi Aulia Exxa F. Kakinya lemas. Matanya berkunang-kunang. Dunia terasa gelap menatap sosok-sosok yang sedari tadi mengelilinginya. Dan tanpa aba-aba, Brukkk!!. Sastra terbaring tidak sadarkan diri di lantai kelasnya. “Kepalaku sakit sekali”, Rintih Sastra terbangun dari ranjang UKS yang ada di sekolahnya. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang telah menimpa dirinya. “Sa, kau tak apa kan?”, Tanya seseorang yang duduk di ujung ranjang UKS, “Aku tidak apa-apa Runi, kepalaku hanya sedikit pusing”, Runi diam mendengar jawaban sahabatnya itu. Kini terbesit kembali apa yang telah dilakukan para teman sekelasnya pada Sastra saat di kelas tadi. “Pokoknya kamu istirahat dulu di sini Sa. Biar aku yang menghajar anak-anak yang menertawakanmu tadi. Tidak habis pikir kelakuan mereka yang semena-mena terhadapmu”, gerutu Runi beranjak dari ranjang UKS, “Samudra Biruni, tolong jangan lakukan itu pada mereka. Jangan balas kejahatan mereka dengan kejahatan. Biarlah mereka menjadi api namun kita harus tetap menjadi air yang tidak akan terbakar”. Sastra mencoba menghentikan Runi yang akan keluar UKS. Runi hanya bisa menghela napas kasar mendengar sahabatnya berkata demikian “Baiklah Sa, sesukamu saja”. Sastra mempercepat langkahnya di sepanjang anak tangga sekolah. Tampak di kiri dan kanan Sastra banyak teman seangkatan berbisik-bisik membicarakannya. Sastra hanya bisa pasrah. Tubuh kekarnya itu tidak mencerminkan suasana hatinya yang kalut. “Wehh lihat tuh, Si puitis yang terus berbicara baku”. Cemooh salah seorang siswa pada Sastra diikuti suara gelak tawa siswa lainnya. Sastra hanya diam. Tanpa sepatah kata Sastra melanjutkan langkah menuju kelas. Sastra begitu sedih. Matanya berkaca-kaca. Sastra masih tidak menyangka buku berisi curahan hatinya dicuri seorang siswa. Dan siswa itu mengunggahnya di laman resmi sekolah. “Hai sastra!”. Teriak seseorang dari luar kelasnya. Itu Runi, sahabatnya. Sastra mencoba menghapus air mata yang hampir menetes. Sastra tersenyum menatap Runi. “Sa, kau tidak apa-apa kan?. Tidak ada anak yang menganggumu lagi kan. Kalau ada apa apa kau cerita sama aku ya!,”. Kalimat itu seperti bius bagi Sastra. Rasa panik yang terus menyelimutinya sedari tadi hilang begitu saja melihat sahabatnya terus menghawatikannya. “Aku tidak apa-apa Runi”. Sastra tersenyum menjawab pertanyaan sahabatnya. “Jangan terus pikirkan hal yang dilakukan anak-anak itu kepadamu. kamu tenang saja. Masih ada aku di sini yang jadi sahabatmu. Benar tidak ?”. Sastra kembali tersenyum mendengar kata sahabatnya itu. Pelantang suara di SMAN 1 Bakti Nusa terus membunyikan bel, sebagai tanda bahwa telah tiba waktu untuk Istirahat. Bruak!!! Gebrakan meja dari seseorang mengagetkan Sastra yang sedang memakan bekalnya. “Heh, cowok apaan kau ini?! Main terus tuh sama si Runi! kau cewek jugakah di dalamnya?” Sastra nampak tenang, mencoba mengabaikan kata-kata anak itu. “Heh Lang!!, sebelum kupatahkan lehermu lebih baik pergi dari sini!!”. Runi murka melihat sahabatnya kembali dirundung Elang dan teman-temannya, “Coba saja jika kau bisa patahkan leherku”. kalimat sombong Elang menyulut emosi Runi. Dan tanpa sepatah kata, kalimat itu langsung disambut pukulan bertubi-tubi dari Runi, “Diam saja kau ini, kau tidak tau apa-apa tentang Sastra”. Suasana kelas menjadi menegangkan, namun akhirnya Runi berhenti memukuli Elang karena guru BK datang melerai perkelahian mereka. “Ada apa ini?! Mengapa kalian berkelahi?!” Tanya guru BK Elang yang babak belur tersungkur di lantai, sementara Rumi ditenangkan oleh Sastra, “kalian berdua ikut ibu ke ruang BK sekarang”. Sastra terduduk di lantai menenangkan Runi yang masih emosi. Pandangan Sastra tidak henti menatap nanar Runi yang begitu menyedihkan, “Runi terimakasih. Tapi seharusnya kamu tidak boleh memukul Elang karena….” Sebelum kalimat Sastra rampung, Runi terlebih dahulu menyela. “Sastra, kamu ini sedang di rundung Elang tadi, mengapa hanya diam saja?” kalimat Runi terpenggal. Ia menghela napas dalam-dalam, “Aku begitu sakit hati melihat sahabatku dirundung seperti itu tadi. Dan masalah pukulanku ke Elang, itu semua hanya semata-mata bayaran atas rundungannya terhadapmu”. Sastra tidak mampu berkata kata lagi. Ia begitu tersentuh mendengar ucapan sahabatnya itu. Derit pintu ruang BK yang terbuka membuyarkan lamunan seseorang yang sedang duduk di sana. Nampak dua anak yang melangkahkan kakinya memasuki ruangan sejuk itu, “Runi, Elang, cepag kemari. Duduklah kalian”. Runi dan Elang menuruti perintah sang guru, “Mengapa kalian tadi bertengkar ? Dan kamu Runi, mengapa sampai memukul Elang?” Pertanyaan tersebutpun langsung dijawab Elang, “Saya cuman bertanya pada Sastra Bu. Lalu si Runi ini malah memukuli saya”, Mendengar pernyataan yang keluar dari mulut Elang, Runi merasa kesal pasalnya pernyataan itu seperti seolah-olah memojokkan dirinya, “Heh kau ini ya Lang!. kalau bertanya pada seseorang itu tak usah sambil mengebrak meja. Apalagi pertanyaanmu tadi pada Sastra sangat tidak sopan. Bu Disa, Tadi Elang mengata-ngatai Sastra yang tidak-tidak”. Mendengar pernyataan dari dua muridnya. Bu Disa mengerti dan mengatakan bahwa yang di lakukan Runi itu salah. Tapi Elang juga salah dengan mengai Sastra. Akhirnya Bu Disa meminta kedua muridnya itu untuk saling meminta maaf dan meminta Runi untuk mengobati luka di pelipis Elang akibat pukulannya tadi. Jalan begitu ramai. Kendaraan bermotor kesana kemari tak henti-hentinya. Sastra membeli dua gelas es di pinggir jalan itu, meneguknya bersama Runi lalu melanjutkan perjalanan pulang mereka. Senja begitu indah. Memancarkan cahaya jingganya yang membuat semua orang yang menatapnya terpesona dengan ciptaan Tuhan yang begitu menagjubkan. “Sa lihat itu. Ada kucing di tengah jalan. Bagaimana kalau kucing itu terlindas kendaraan yang lewat…” Belum sempat Sastra menjawab Runi, tiba-tiba Runi berlari tanpa melihat ke kiri dan kanannya. alhasil Bruaaakkkkkkkk!!!!. Runi terpental jauh saat ada mobil yang tidak sengaja menabraknya. Sastra begitu kaget. Dia bergegas menghampiri Runi yang tergeletak di aspal jalan itu. “Runi bangu!! jangan kamu tiduran di sini!. ayo bangun Runi! tolong dengar sahabatmu Sastra ini!!,”. Runi tidak menjawab pertanyaan. Sastra kalut. Tanpa sadar air matanya menetes. Kini banyak orang berkerumun di dekat Sastra dan Runi. Setelah beberapa saat, ambulan datang dan membawa Runi ke puskesmas terdekat. Satu jam kemudian keluarga Runi datang. “Sastra, bagaimana keadaan Runi?” Tanya Tante Dara, Ibu Runi. “Tante Dara, maafkan Sastra. Saat Runi berlari menyelamatkan Kucing di tengah jalan, Sastra tidak dapat menolongnya…” Sastra meneteskan airmata. Ibu Runi dengan sigap memeluk Sastra dan menenangkannya. “Shhh, kepalaku sakit sekali”, Runi terbangun dari pingsannya. Matanya ingin menyesuaikan cahaya yang masuk korneanya. Semua orang yang ada di ruangan itu bersyukur karena tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Menurut dokter kondisi Rumi tidak perlu